I.
Imam empat serangkai adalah imam-imam mazhab fiqih dalam islam. Mereka
imam-imam bagi mazhab empat yang berkembang dalam islam. Mereka terkanal sampai
kepada seluruh umat di zaman yang silam dan sampai sekarang. Mereka itu adalah:
1. Abu Hanifah Annu’man
2. Malik bin Anas
3. Muhammad Idris
Asy-Syafi’i
4. Ahmad bin Muhammad bin
Hambal
Karena pengorbanan dan bukti
mereka yang besar terhadap agama islam yang maha suci, khususnya dalam bifang
imnu fiqih mereka telah sampai ke peringkat atau kedudukan yang baik dan tinggi
dalam islam. Peninggalan mereka merupakan amalan ilmu fiqih yang besar dan
abadi yang menjadi kemegahan bagi agama Islam dan kaum Muslimin umumnya.
II.
RUMUSAN MASALAH
A. Bagaimana sejarah pemikir
tokoh islam Abu Hanifah Annu’man ?
B. Bagaimana sejarah pemikir tokoh islam Malik
bin Anas ?
C. Bagaimana sejarah pemikir
tokoh islam Muhammad Idris Asy-Syafi’i ?
D. Bagaimana sejarah pemikir
tokoh islam Ahmad bin Muhammad bin Hambali
III.
PEMBAHASAN
A.
Abu Hanifah Annu’man
Mazhab hanafi adalah mazhab tertua diantara
empat mazhab ahlus sunah wal jama’ah yang populer. Pendirinya bernama Imam
Abdul Hanifah An-Nu’man bin Tsabit bin Zutha At-tamimiy, terkenal dengan
Sebutan Imam Ahli Al-Ra’yi ( imam ahli
logika ). Seorang non arab yang dilahirkan di kuffah tahun 80 H pada khalifah
Abdul Malik bin Marwan ( dinasti umayyah). Beliau tumbuh dan berkembang dalam
keluarga pedagang pakaian dan memiliki pemahaman yang sangat baik terhadap
agama, terutama sejak ayah beliau bertemu dengan sayyidina ‘Ali bin Abi Thalib
dan didoakan keberkahan keluarganya.
Imam Abu Hanifah sangat giat menghafalkan
Al-Qur’an sejak kecil dan setelah itu menghafal As-sunnah untuk memperdalam
agamanya, ditanah kelahirannya, Kuffah, beliau belajar dan menyususn
madzhabnya. Disana pula beliau pandai memberikan fatwa kepada setiap lapisan
kaum muslimin, sehingga beliau menjadi seorang alim yang mahir mengistinbatkan
hukum dari Al-Qur’an dan sunnah.
Menurut riwayat belliau adalah seorang wadi’
atau penyususn ilmu fiqh. Beberapa ulama’ (murid-murid beliau ) mempelajari
mazhab beliau kemudian memerikasa dan menyelidiki hukum-hukum tadi dengan
dalil-dalil, serta menyesuaikan dengan keadaan-keadaan, kefaedahan dan
kemudharatannya. Mereka inilah yang dinamakan sahabat-sahabat Imam Abu Hanifah,
antara lain Abu Yususf, Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani, Zufan bin Al Huzail
dan Al-Hasan bin Zaid Al-Lu’lu’i
1. Setting sosial budaya
Latar belakang metropolis sangat nampak dalam hasil penentuan hukum islam
dimasa Imam Abu Hanifah. Hal ini dipengaruhi kondisi sosial di kuffah yang
kurang, tentang pembendaharaannya ilmu hadist. Disamping itu, kuffah sebagai
kota berada ditengah kebudayaan persia yang masyarakatnya sudah mencapai
peradaban yang cukup tinggi. Oleh sebab itu, banyak muncul problema agama
masyarakat yang memerlukan penetapan hukum, serta banyak pemalsuan hadist yang
menyulitkan Imam Abu Hanifah dalam penetapan hukum, maka beliau dalam
menetapkan hukum islam banyak menggunakan ra’yi (logika).[1]
2. Setting politik
Kondisi dan situasi irak berada dari mekah, struktuk sosial, budaya,
dan politiknya serta kebudayaan yang berlainan. Politik irak berada dibawah
kekuasaan despotisme. Sedngkan Madinah semasa nabi dan Khulafa’ Ar-Rasyidin
berada dibawah kekuasaan demokratis, hadist-hadist yang banyak menyelesaikan
masalah di Madinah dan Mekah, hampir tidak ada atau sedikit yang dapat
memecahkan masalah sosial seperti irak. Sang imam sebagai seorang yuridis yang
relistis memandang hukum bukan sekedar
penerapan ketentuan yang telah ada secara dogmatis, tetapi harus menimbulkan
ketenangan sosial dan ketertiban.
Pandangan Imam
Abu Hanifah terkenal dengan pandangan yang merdeka dan liberal. Karena cara
pandang dan pemikiran beliau tersebut , mazhab ini dijadikan sebagai mazhab
resmi dinasti Abbasiyah selama lebih dari lima abad dan ditetapkan pula pada
setiap negara islam yang berada pada kekuasaan khilafah.
3. Metode keilmuan
Imam Abu Hanifah berguru kepada seorang ulama ahlu ar-rayu terkemuka
pada zamannya, yaitu Hammad bin Sulaiman, yang mempunyai silsilah belajar fiqh
dari Ibrahim An-Nakha’i dari ‘Alqamah An Nakha’i dari ‘Abdullah bin Mas’ud .
beliau juga belajar dengan tabi’in seperti Atha’ bin Rabbah dan Nafi’, pembantu
Ibnu ‘Umar bin khattab, fiqh ibnu ‘Abbas, fiqh ‘ali bin Abi Thalib dab fiqh
‘Abdullah.[2]
Setelah hammad bin sulaiman wafat pada tahun 120 H, beliau duduk
menggantikan sang guru dalam majelis kajiannya. Gaya pengajarannya bersifat
dialog, dengan cara inilah mazhab Hanafi berdiri atas dasar metode diskusi,
analisis, observasi ‘illat dan menelaah dalil.
4. Metode istinbat yang
digunakan
Imam Abu Hanifah, sebagai
pelopor madrasah ra’yu sendiri memiliki manhaj tersebdiri dalam mengistinbatkan
hukum. Beliau pernah berkata, “saya mengambil dari kitab Allah, jika tidak ada
dari rasulullah dan jika tidak ada keduanya saya akan mengambil pendapat
sahabat, saya memilih salah satu dan meninggalkan yang lain, dan jika sudah
samapai berada kependapat Ibrahim, Asy-Sya’bi, Al Hasan, Ibn Sirin, dan Al
Mussayib maka saya akan berijhtihad seperti meraka berijhtihad.[3]
Pendirian Abu hanifah
sebagaimana hanafiayah adalah mengambil dari orang kepercayaan dan lari dari
keburukan, memperhatikan muamalah manusia dan hal hal yang telah mendatangkan
maslahat bagi urusan mereka. Ia menjalankan urusan asas Qiyas. Apabila qiyas
tidak baik dilakukan, ia kembali kepada urf’ masyarakat. Dan mengamalkan hadist
yang terkenal yang diijmakan para ulama, iya meng-qiyas-kan sesuatu pada hadist
itu selama qiyas masih dapat dilakukan, kemudian ia kembali pada istihsan,
memilih diantara keduanya yang paling tepat.[4]
Dalam penjelasan diatas dapat
disimpulkan bahwa manhaj Imam Abu Hanifah dalam mengistinbatkan hukum adalah
sebagai berikut :
a. Al-Qur’an, sebagai sumber utama syari’at dan kepadanya
dikembalikan senua hukum yang ada.
b. Sunnah, sebagai penjelas kandungan Al-Qur’an.
c. Pendapat sahabat. Para sahabat hidup satu jaman dengan
rosulullah SAW. Mereka lebih memahami sebab turunya ayat, kesesuaian setiap
ayat dan hadist, dan merekalah yang membawa ilmu rosulullah kepada umatnya.
d. Qiyas, jika tidak ada nash Al-Qur’an atau sunnah
atau ucapan sahabat ,beliu mneggali illat dan jika menemukannya ia akan
mengujinya terlebih dahulu, lalu menetapkan dan menjawab permasalahan yang
terjadi dengan penerapan illat yang ditemukan.
e. Al-istihsan, yaitu meninggalkan qiyas dzohir dan
mengambil hukum yang lai, karena qiyas dzohir terkadang tidak dapat diterapkan
dalam sebagian masalah. Oleh karena itu, perlu mencari illat lain dengan cara
qiyas khaafi, atau karena qiyas dzohir bertentangan dengan nash sehingga haris
di tinggalkan.
f. Ijma, yang menjadi hujjah berdasarkan kesepakatan
ulama walaupun mereka berpendapat apakah ijma ini pernag ada setelah rosulullah
Saw.
g. Al ‘urf ( adat istiadat) , yaitu perbuatan yang baik
yang sudah menjadi kebiasaan kau muslimin dan tidak ada nash yang mengaturnya.
B.
Malik bin Anas
Imam malik adalah imam yang kedua dari
imam-imam empat serangkai dalam Islam dari segi umur. Ia di lahirkan tiga belas
tahun setelah kelahiran Abu Hanifah. Imam Malik dilahirkan pada zaman
pemerintahan Al-Wahid bin Abdul Malik Al-Umawi. [5]
Nama lengkap imam malika adalah Malik bin
Anas bin Malik bin Abi Amir bin Amru bin Ghaiman bin Hutail bin Amru bin
Al-Haris. Beliau pendukung Bani Tamin bin Murrah.
Imam Malik dilahirkan disuatu tempat yang
dinamakan Zulmarwah di sebelah utara ‘Al-Madinatul-Munawaroh’ kemudian beliau
tinggal di ‘Al-akik’ untuk sementara waktu sebelum akhirnya beliau menetap di
Madinah.
Perselisihan antara ahli sejara mengenai
tarikh kelahiran Imaam Malik terjadi sejak dulu kala. Beberapa ahli sejarah
berpendapat bahwa ia lahir pada tahun 90, 94, 95, dan 97H. Sebagian ahli
sejarah mengatakan Ibu Malik mengandungnya selama dua tahun, namun ada pula
yang mengatakan tiga tahun. [6]
Imam Malik adalah Imam dari kota Madinah dan
Imam bagi penduduk Hijazen. Ia salah seorah dari ahli fiqih yang terakhir bagi
fuqoha Madinah. Beliau adalah seorag yang tinggi, hidungnya mancung, matanya
biru, da jenggotnya panjang. Beliau juga memiliki perangai yang baik, cerdas,
cepat hafal dan faham Al-Qur’an sejak masa kecilnya. [7]
Beliau berumur hampir 90 tahun, ia meninggal
dunia pada masa pemerintahan Harun Al-Rasyid dimasa pemerintahan Abbasiyyah.
Beliau mengalami sakit selama duapuluh hari kemudian meninggal dunia di Madinah
yaitu pada tanggal 14 bulan Rabi;ul awal tahun 179 hijriah. Ada juga pendapat
mengatakan beliau meninggal dunia pada 11, 13, dan 14 bulan rajab. Imam Malik
dikebumikan di tanah perkuburan Al-Baqi’.
Ayah imam Malik tidak disebutkan dalam
buku-buku sejarah. Apa yang diketahui, beliau tinggal di suatu tempat bernama
Zulmarwah, nama suatu tempat di padang pasir di sebelah utara Al-Maidah. Ayah
imam malik bukan seorang yang bukan seorang yang biasa menuntut ilmu. Walaupun
demikian, beliau mempelajari hadist-hadist Rosulullah. Beliau bekarja sebagai
pembuat panah sebagai sumber nafkah bagi hidupnya. Sedangkan ibu Imam Malik
bernama Al-Ghalit binti Syarikbin Abdul Rahman bin Syarik Al-azdiyyah. Dan ada
pula yang mengatakan ibu imam malik bernama Talhah, tetapi dia lebih terkenal
dengan nama yang pertama.
Imam Malik menikah dengan seorang hamba
(amah), beliau tidak menikah dengan perempuan yang merdeka (hurrah). Beliau
memiliki 4 orang anak, tiga orang laki-laki yaitu : Muhammad, Hamad, dan yahya
dan satu anak perempuan bernama Fatimah yang memiliki gelar “Umul Mu’min”
1. Setting sosial budaya
Imam Malik semasa hidupnya sebagai pejuang demi agama dan umat islam
seluruhnya. Beliau dilahirkan pada pemerintahan Al-Wahid bin Abdul Malik
Al-Umawi dan meninggal dunia pada masa pemerintahan Harun Al-Rasyid domasa
pemerintahan Abassiyah. Zaman hidup imam malik sama dengan Abu hanifah.
Semasa
hidupnya imam malik mengalami dua corak pemerintahand Ummayah dan Abbassiyah
dimana terjadi perselisihan hebat diantara kedua pemerintahan tersebut. Dimasa
itu pengaruh ilmu pengetahuan Arab, Persi, dan Hindi tumbuh subur dikalangan
masyarakat pada waktu itu.
Beliu juga dapat melihat perselisihan antara pro-Abbassiyah dan
pro-‘Alwiyyin dan juga orang Khawarij, dan juga perselisihan antara golongan
syi’ah dan golongan Ahli-Sunnah dan Orang
khawarij. Disamping itu pula beliau menyaksikan percampuran antr bangsa
dan keturunan yaitu orang Arab , Persi, Rom, dan Hindi.
Bermacam-macam pula perubahan yang terjadi, seperti dibidang pertanian,
perniagaan, pertukangan dan macam-macam corok kehidupan yang mana semuanya
menggunakan dalih yang menurut kacamata agams dan hukum-hukum fiqih inilah
permulaan penyusun ilmu hadist, fiqih dan masalah ilmu-ilmu hukum.
Pada mulanya, imam malik bercita-cita menjadi seorang penyanyi. Ibunya
menasehati supaya beliau meninggalkan cita-citanya dan meminta beliau
mempelajari ilmu fiqih. Beliau menerima nasehat ibunya dengan baik. Ibunya
mengetahui cita-cita beliau sedemikian, ibunya memberitahukan kepadanya bahwa
penyanyi yang mukanya tidak bagus tidak disenangi oleh orang banyak. Oleh
karena itu, ibunya meminta beliau mempelajari ilmu fiqih saja. Tujuan ibunya
berkata sedemikan adalah hendak mencegah imam malik menjadi seorang penyanyi,
karena apa yang di ketahui Ima malik adalah terkenal dengan wajahnya yang
tampan.
Sebagaimana orang lain juga, setelah Imam Malik menginjak remaja,
beliau mendapatkan kemudahan dalam kebutuhan hidupnya. Beliau sering mendapat
bantuan yang berupa derma sehinnga Harun Al-Rasyid pernah memberikan derma
kepadanya tiga ribu dinar. Sebelum beliau hanya memiliki sebanyak empat ratus
dinar saja. Dan uang ini digunakan sebagai modal untk perniagaannya. Beliau
tidak berniaga sebdiri, tetapi beliau memberi modal kepada seorang pedagang
dengan membagi keuntungan yang didapatnya
(Al-Mudaa-rabah). Seletah kaya beliau memakai pakaian yang mahal ,
beliau juga memakai wangi-wangian yang baik dan memakai sebentuk cincin
2. Setting politik
Imam Malik tidak membenarkan masyarakat menuduh Sahabat Rasul ( yang
pada masa itu telah banyak berkembang dalam masyarakat), baik oleh golongan
khawarij yang menuduh Utsman, Ali, Amar Ibn Ash, Muawiyah dan lain-lain telah
menjadi kafir, maupun golongan syiah mencela Abu Bakar dan UtSman beliau
berkata: “jika di Madinah berkembang penisstaan terhadap para sahabat, wajiblah
kita keluar dari Madinah itu, jika tidak dapat menolongnya”.
Dalam bidang politik imam malik tidak banyak bicara . beliau tidak
ingin mencampuri persengkatan dan perselisihan. Kita hanya menemukan
pendiria-pendirian beliau secara tidak rinci dalam sebagian ucapannya dan
sikapnya. Dalam pada itu dapat kita lihat pendapat beliau, bahwa khalifah itu
tidak harus dipegang oleh keluarganya hasyimi (Alawi), dan jalan memilih
khalifah menurut imam malik adalah dengan jalan istikhlaf, asal yang menunjuk
itu tidak dipengaruih oleh hawa nafsu, atau dengan dimusyawarahkan oleh
panitian negara yang dibentuk untuk itu, dan pengangkatan itu dilakukan dengan
bai’at kaum muslimin.
Menurut pendapat imam malik apabila seorang merebut kekuasaan, tetapi
berlaku adil dan masyarakat senang menerimanya maka kita tidak boleh
memberontak terhadapnya, kita harus mentaatinya. Tetapi jika tidak berlaku adil
beliau tidak memperbolehkannya, beliau mengambil jalan maslahat dalam bidang
politik dan menghindari bencana yang lebih besar.
Imam Malik
memberi contoh-contoh pekerjaan yang baik yang dikerjakan oleh orang-orang
terdahulu seperti umar bin Al-khatab. Beliau mengharapkan kepada khalifah
supaya menuruti jejak langkah Umar. Beliau menambahkan kata-katanya,
“sesungguhnya khalifah tidak berkesempatan untuk mengerjakan dan mengikuti
pekerjaan-pekerjaan yang dilakukan oleh Umar tetapi hendajnya khalifah berjalan
menuju kesatu haluan. Rakyat akan merasa puas dengan cara itu sekalipun ia
tidak sama dengan taraf Umar.”[8]
Imam malik sangat menjunjung tinggi kepada hal ikhwal kehidupan seluruh
manusia dan memperbaiki nasib-nasib mereka dan nyata kepada kita ialah dengan
cara perbaikan tersendiri terhadap orang yang diberi nasihat. Ia menyeru supaya
berhidmat untuk seluruh manusia seperti menolong orang yang membutuhkan
pertolongan dan mengambil teladan kepada umar yang bekerja keras uang menolong
fakir miskin dan mereka yang lapar di waktu kelaparan[9]
3. Metode keilmuan
Imam Malik hafal Al-Qur’an dan Hadist-hadist Rasulullah SAW. Ingatannya
sangat kuat dan sudah menjadi adat kebiasaannya apabila beliau mendengar
hadis-hadist dari pada gurunya terus dikumpulkan dengan bilangan hadist-hadist
yang pernah beliau pelajari. Di waktu Imam Malik menuntut ilmu, beliau
mempunyai guru banyak. Kitab “Tazhibul-asma Wallughat” menerangkan bahwa imam
malik pernah belajar kepada sembilan ratus syeh. Tiga ratus darinya dari
golongan tabi’in dan enam ratus lagi dari tabi’it-Tabi’in. Mereka semua adalah
orang-rang yang terpilih dan cukup dengan syarat-syarat yang dapat dipercaya
dalam bidang agama dan hukum fiqih.
Imam Malik tidak menerima hadist (rawi) yang tidak diketahui tentang
pengambilannya sekali pun pembawa hadistitu dari orang yang baik dalam bidang
agama. Imam Malik pernah berguru dengan Abdul Rahman bin Harmuz Al-‘Araj selama
kurang lebih tujuh tahun. Dalam masa tersebut beliau tidak pernah pergi belajar
kepada guru yang lain. Beliau pernah memberi buah kurma kepada anak-anaknya
Abdul Rahman dengan tujuan supaya mereka memberitahukan kepada mereka yang
hendak datang menemui Imam Malik bahwa Imam Malik sedang sibuk. Tujuan beliau
supaya syeh Abdul Rahman dapat mencurahkan waktu untuknya, dengan itu dapatlah
beliau dengan leluasa mempelajari sebanyak yang beliau sukai. Kadangan beliau
belajar dengan Syekh itu satu hari penuh. Syekh-syekhnya antara lain adalah
Rabi’ah bin Abdul Rahman Farukh. Beliau berguru padanya ketika masih kecil.
Sebagai buktinya ialah ucapan imam malik terhadap ibunya: “aku pergi dan aku
menulis pelajaran.” Ibunya menyiapkan pakaian yang lengkap dengan kain sorban
serta menyuruh beliau hadir kerumah Rabi’ah untuk belajar menulis. Ibunya
meminta ia belajar ilmu ahlak dari Rabi’ah sebelum mempelajari ilmu-ilmu yang
lain.
Diantara gurunya lagi ialah, Nafi’ Auili Abdullah, Ja’far bin Muhammad
Albaqir, Muhammad bin Muslim Az-Zuhri, Abdul Rahman bin Zakuan, Yahya bin Said
Al-Ansari, Abu Hazim Salmah bin Dinar, Muhammad bin Al-Munkadir, Abdullah bin
Dinar dan masih banyak lagi tabi’in sebagai mana yang terangkai oleh An-Nawawi[10] . Imam
Malik banyak mempelajari ilmu pengetahuan dalam waktu yang singkat. Beliau
mulai mengajar ketika usianya tujuh belas tahun. Setelah imam Malik mengajar
beberapa tahun, kemudian majlis pelajarannya didatangi olah pendengar-pendengar
yang lebih banyak dari pendengar-pendengar di majlis Syekh Nafi.
Sebelum Imam malik menjadi guru beliau mendalami lebih dulu pelajaran
sehinnga kadang kala beliau tidak tidur. Meskipun imam malim sudah menjadi
orang alim dan seorang maha guru atau seorang sarjana dalam bidang ilmu
pengetahuan, beliau juga tidak berhenti belajar. Bahkan beliau mengadakan
pertemuan dengan mereka dari golongan ulama dan fuqaha yang datang kemadinah.
Beliau bercakap-cakap dengan mereka dan bertukar pikiran ilmu pengetahuan. Imam
Malik selalu berkumpul dengan ulama Madinah apabila ada waktu senggang. Beliau
termasuk wakil dari kalangan ulama fuqaha dalam bidang agama dan ilmu-ilmu. Dan
setelah itu , beliau sering mengkaji sendiri dalam semua
permasalahan-permasalahan.
Kebanyakan imam-imam yang termashur pada zaman imam malik adalah murid
beliau yang datang dari bebagai penjuru negeri. Oleh karena itu, ia tinggal di
Madinah. Keadaan ini dapat memberi kesempatan yang baik kepada orang-orang naik
haji dan menziarahi makam Rasulillah SAW. Menemui beliau. Disamping itu pula
disebabkan umurnya sudah meningkat sembilan puluh tahub. Murid-murid Imam Malik dari golongan
Tabi’in yaitu :
a. Az-Zuhri
b. Ayub Asy-Syakh-Fiyani
c. Abdul Aswad
d. Rabi’ah bin abi Abdul
Rahman
e. Yahya bin Said
Al-Ansari
f. Musa bin ‘uqbah
g. Hisyam bin Arwah
Karya imam malik yang terbesar ialah bukunya Al-Muwatha’, yaitu ktab
fiqh yang berdasarkan himpuna hadist-hadist pilihan. Kitab ini ditulis pada
masa khalifah Al-Mansyur (754-755) dan selesai pada khalifah Al-Mahdi
(755-785). Kitab Al-Muwatha adalah sebuah kitab yang lengkap penyusunannya
selain dari kitab Al-Majmu karangan Zaid. Dinamakan Al-Muwatha karena
Al-Mansyur ingin menjadikan kitab itu sebuah kitab yang sederhana. Beberapa
kitab Imam Malik selain dari kitab Al-Muwatha ialah :
a. Tafsir Gharibil Quran
Risalah fir Rad ‘alalqadariyyah
b. Risalah fil akdiyyah
c. Risalah fil fatwa ila
abi Ghassan
d. Kitabussurus
e. Risalah kepada
Ar-Rasyid fil azab wal mawa’is
f. Kitab An-Nujum wa
Hisab madaruz Zaman wa manazilul kamar
g. Kitab bussiyar
h. Risalah kepada Al-Laith
bin sa’ad
4. Metode istinbat yang
digunakan
Metodologi penetapan huum yang ditempuh oleh imam malik adalah dengan
berdasarkan kepada Al-Qur’an kemudian sunnah, hanya saja beliau mendahulukan
amalan penduduj Madinah daripada hadist ahad kalau terjadi perbedaan antara
keduanya, Imam Malik mendahulukan berpegang kepada amalan penduduk Madinah,
karena penduduk madinah mewarisi apa yang mereka amalkan dari ulama salaf
mereka. Dan ulama salaf itu mewarisi dari para sahabat. Oleh karena itu, amalan
penduduk Madinah lebih kuat dari pada hadist ahad. Dalam hal ini imam Syafi’i
dan sebagian dari imam mujtahis lainnya berbeda pendapatnya. Alasannya adalah sunnah
itu kebanyakan dibawa oleh sebagian sahabat ke berbagai kota dan daerah-daerah
yang sudah ditaklukan atau dikuasai umat islam. Sunnah seluruhnya tidak
terbatas pada amalan penduduk Madinah saja, itu hanya sebagian saja yang
merupakan amalan penduduk Madinah.
Bahkan justru kebanyakan sunnah terdapat ditempat-tempat lain diluar
Madinah. Oleh karena itu mereka berpedoman kepadanya tanpa mempertimbangkan
sesuai dengan amalan penduduk Madinah atau tidak.[11]
Setelah sunnah yang dijadikan dasar metodologi penetapan hukum, Imam
Maliki juga merujuk kepada metodologi qiyas atau analogi. Selain itu, juga
banyak persoalan hukum dalam mazhab aliki yang dibangun dengan menggunakan
metode maslahah-mursalah. Bahkan menggunakan maslahah mursalah dalam mentakhis
ayat-ayat Al-Qur’an yang bersifat umum. Tetapi beliau mengadakan beberapa
syarat yang tertentu untuk berpegang kepada maslahah mursalah yaitu:
a. Hendknya kemaslahatan
yang diikuti itu tidak menyimpang dari salah satu masalah pokok hukum agama,
dan juga tidak menolak dalil yang tetap( qat’i) dari dalil-dalilnya.
b. Hendaklah kemaslahatan
itu diterima orang yang bijaksana pandai.
c. Hendaknya dengan
kemaslahatan itu terangkat segala keberatan dalam islam.
Sebagai contoh terhadap
pengamblan Imam Malik masalah kaidah kemaslahatan, bahwa beliau berpendapat
jika harta baitulmal sudah kehabisan sedangkan tentara-tentara berhendak kepada
pembelanjaan-pembelanjaan. Maka pemerintah hendak mengambil harta dari orang-orang
kaya sekedar mencakupi bagi tujuan tersbut. Sehingga masih terdapat harta di
baitulmal. [12]
Beberapa pendapat mengatakan
bahwa metode istinbat digunakan oleh Imam Malik ialah sebagai berikut:
a. Al-Qur’an sebagai sumber hukum yang pertama
dan berada diatas yang lainnya.
b. Al-Sunnah merupakan sumber hukum kedua setelah
Al-qur’an, karena fungsinya menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an serta menetapkan
hukum sendiri.
c. Tradisi masyarakat Madinah adalah sejumlah
norma adat yang ditaati oleh seluruh masyarakat kota ini.
d. Ijma’ seluruh pakar hukum islam dan pakar
lainnya yang berkaitan dengan masalah umat.
e. Fatwa sahabat yang dipandang oleh Imam
malik Namun hadis ini lemar, karena
sanadnya berhenti pada sahabat.
f. Qiyas, bagi Imam Malik mencangkup 3 hal. Pertama,
menyamakan hukum kasus dengan sumber hukum karena terdapat alasan yang sama
(Qiyas Ishthilahi). Kedua, menguatkan hukum yang dikehendaki oleh kebaikan
individu atas hukum yang dimunculkan oleh qiyas (isihasan isthilahi).[13]
C.
Muhammad Idris Asy-Syafi’i
Imam Syafi’i adalah seorang keturunan dari
Hasyim ibn Abdul Muthalib. Sehingga masih seketurunan dengan Nabi Muhammad SAW.
Nama lengkapnya yaitu Muhammad Ibn Idris
Asy-Syafi’i. Beliau dilahirkan di Ghuzzah, sebuah wilayah di dalam negeri
Syiria pada tahun 150 H/ 767 M.[14] Setelah ayahnya awafat, ibunya embawanya ke
Palestina. Ia tinggal pada suku Yaman, daerah asal leluhurnya, Kemudian ibunya
menuju Makkah bersama Asy-Syafi’i ketika berusia 10 tahun. Sejak masa
kanak-kanaknya, Asy-Syafi’i sudah menunjukkan kecerdasaan akal serta daya
ingatnya yang mengagumkan. Dia fasih berbicara, menguasai sastra, dan Bahasa
Arab yang sangat baik, disamping itu juga menguasai masalah-masalah hukum.
Beliau wafat pada akhir bulan Rajab 204 H/ 20 Januari 820 M, di kota Kairo,
Mesir. Beliau di makamkan di dekat bukit al-Muqattam. [15]
Sebagai seorang anak yang masih belia,
Syafi’i adalah anak yang cerdas dan cemerlang, selalu giat belajar ilmu-ilmu
keislaman yang asasi. Sebagaimana setiap anak muslim masa itu, dia mulai dengan
belajar Al-Quran dan tamat menghafalkan Al-Quran pada usia menjelang tujuh
tahun.
1. Setting sosial budaya
Imam Syafi’i adalah ulama yang berkepribadian mengesankan, dikenal
dengan terus terangnyadan kejujurannya, ketulusannya dan ketakwaannya. Dia
menempuh kehidupan dengan sumber daya yang terbatas. Walaupun demikian, dia
sangat dermawan kepada fakir miskin dan yang membutuhkan. Penulis biografinya,
Ar-Razi, berkata bahwa dia biasa membantu fakir miskin akan segala sesuatu yang
dapat diulurkannya. [16]
Ketika Imam Syafi’i berada di Mesir, Dia selalu dikelilingi oleh
sejumlah besar ulama dari berbagai daerah yang datang untuk mengaji Fiqh dan
Ushul Fiqh kepadanya. Muridnya yang terkenal seperti Rabi bin Sulaiman
al-Marahi (wafat 270H/880 M), Abu Ya’kub al-Ruwaiti (wafat 274 H/877 M), dan
masih lagi yang lain yang mengikuti pelajarannya dengan semangat serta mencatat
setiap katayang disampaikannya dengan cermat dan teliti. Biasa dipraktekan oleh
Imam Syafi’i bahwa apapun yang ditulis oleh murid-muridnya dibacakan terlebih
dahulu kepadanya dengan suara keras dan dia akan langsung memperbaiki naskah
itu apabila dianggap perlu. Inilah sebabnya pengajaran Imam Syafi’i yang paling
terinci dapat sampai kepada kita. Karya Imam Syafi’i yang masyhur adalah
seperti Al-Umm dan ar-Risalah, merupakan sumbangan paling besar dalam khazanah
tatanam hukum Islam.[17]
2. Setting politik
Ketika Guberbur Yaman mengunjungi Madinah, sangat terkesan dengan
kedalaman ilmu Syafi’i. Sampai gubernur ini membujuknya agar menduduki jabatan
administrator, akhirnya diterima dan dilaksanakan dalam tempo yang singkat.
Kita pun diberi informasi bahwa Asy-Syafi’i segera saja menghadapi pertentangan
dengan para pejabat pemerintah sampai dirinya diasingkan ke Irak dengan
belenggu yang berat pada tahun 187 H/ 803 M. Berbagai tuduhan yang tidak
terbukti, termasuk tuduhan berkomplot ditudingkan kepadanya. Hal ini terjadi
pada masa Khalifah Harun Ar-Rasyid dari daulat Abbasiah.[18]
Asy-Syafi’i dibawa ke hadapan khalifah bersama para tuduhan lainnya.
Namun Asy-Syafi’i dimaafkan dan dibebaskan oleh khalifah setelah berhasil
berbicara dengan fasih membela dirinya. Menurut riwayat, tatkala di hadapan
Harun Ar-Rasyid itu, dia berdialog dengan khalifah tentang berbagai disiplin
ilmu, termasuk ilmu pengobatan Yunani dan filsafat dalam bahasa-bahasa aslinya.
Baginya beruntung pula bahwa Imam Muhammad bin al-Hasan al-Syaibani (189 H/ 805
M), seorang ulama Hanafi terkenal, hadir pula pada mahkamah khalifah itu. Ulama
Hanafi itu membantu Imam Syafi’i dengan menjelaskan bahwa Asy-Syafi’i adalah
ulama fiqh yang masyhur, sehingga kehidupannya harus dibela. Diskusi
Asy-Syafi’i dengan Harun al-Rosyid itu sangat menyenangkan khalifah, sehingga
malah khalifah menjadi pelindungnya.
Asy-Syafi’i memperoleh kedamaian hati dan pikiran di Baghdad dan
menghabiskan waktunya untuk mempelajari berbagai hal penting bersama
Al-Syaibani. Dengan pengalaman pahitnya bekerja di pemerintahan tempo dulu, dia
menyatakan dengan tegas tidak akan mau lagi memangku jabatan di pemerintahan.
Meskipun dia telah dilindungi oleh khalifah[19].
3. Metode keilmuan
Pada mula-mulanya beliau berguru kepada Muslim ibn Az Zani, mufti
Makkah. Sesudah beliau meenghafal Al-Quran dalam usia 9 tahun, beliau
mempelajari Lughat dan syi’ir. Kemudian beliau
menghadapi hadits, fiqh dan Al Quran.
Untuk memperoleh ilmu, beliau pergi ke Madinah berguru kepada Imam
Malik dan ke Irak berguru kepada Muhammad ibn Al-Hasan. Mulanya beliau
mengikuti Malik. Akan tetapi sesudah melewat kebeberapa kota dan memperoleh
pengalaman baru, beliau membentuk madzhab sendiri, yaitu madzhab qadim (madzhab
lama) yang dibentuk di Irak. Kemudian pada tahun 200 H, beliau menuju ke Mesir.
Beliau membentuk madzhab jadidnya (madzhab baru). Di Mesir inilah beliau
menyusun kitab-kitabnya yang terkenal hingga sekarang, diantaranya Ar Risalah,
sebagai kitab pertamanya dalam ilmu Ushul Fiqh dan kitab yang lainnya yaitu Al
Umm. [20]
Pemikiran fiqh mazhab ini diawali oleh Imam Syafi’i, yang hidup di
zaman pertentangan antara aliran Ahlul Hadits (cenderung berpegang pada teks
hadist) dan Ahlur Ra’yi (cenderung berpegang pada akal pikiran atau ijtihad).
Imam Syafi’i belajar kepada Imam Malik sebagai tokoh Ahlul Hadits, dan Imam
Muhammad bin Hasan asy-Syaibani sebagai tokoh Ahlur Ra’yi yang juga murid Imam
Abu Hanifah. Imam Syafi’i kemudian merumuskan aliran atau mazhabnya sendiri,
yang dapat dikatakan berada di antara kedua kelompok tersebut. Imam Syafi’i
menolak Istihsan dari Imam Abu Hanifah maupun Mashalih Mursalah dari Imam
Malik. Namun demikian Mazhab Syafi’i menerima penggunaan qiyas secara lebih
luas ketimbang Imam Malik. Meskipun berbeda dari kedua aliran utama tersebut,
keunggulan Imam Syafi’i sebagai ulama fiqh, ushul fiqh, dan hadits di zamannya
membuat mazhabnya memperoleh banyak pengikut; dan kealimannya diakui oleh berbagai
ulama yang hidup sezaman dengannya.
4. Metode istinbat yang
digunakan
Di dalam Ar-Risalah, Imam Syafi’i menerangkan bahwa dasar-dasar tasyri
yang dipeganginya, ialah:
a. Al-Quran, tafsir secara lahiriah, selama tidak ada yang
menegaskan bahwa yang dimaksud bukan arti lahiriahnya. Imam Syafi'i pertama
sekali selalu mencari alasannya dari Al-Qur'an dalam menetapkan hukum Islam.
b. As-Sunnah,
dari Rasulullah SAW. kemudian digunakan jika tidak ditemukan rujukan dari
Al-Quran. Imam Syafi'i sangat kuat pembelaannya terhadap sunnah sehingga
dijuluki Nashir As-Sunnah (pembela Sunnah Nabi).
c. Ijma’, atau kesepakatan para Sahabat Nabi, yang tidak terdapat perbedaan
pendapat dalam suatu masalah. Ijma' yang diterima Imam Syafi'i sebagai landasan
hukum adalah ijma' para sahabat, bukan kesepakatan seluruh mujtahid pada masa
tertentu terhadap suatu hukum; karena menurutnya hal seperti ini tidak mungkin
terjadi.
d. Qiyas,
yang dalam Ar-Risalah disebut sebagai ijtihad, apabila dalam ijma' tidak juga
ditemukan hukumnya. Akan tetapi Imam Syafi'i menolak dasar istihsan dan
istislah sebagai salah satu cara menetapkan hukum Islam.[21]
Asy-Syafi’i telah dapat mengumpulkan antara thariqot Ahlur Ra’yi dengan
thariqot Ahlul Hadits. Lantaran itu menjadilah madzhabnya tidak terlalu
cenderung kepada Ahlul Hadits dan tidak terlalu cenderung kepada madzhab Ahlur
Ra’yi. Beliau menerima Al-Qur’an, As-Sunnah, Ijma’, Qiyas dan Al-Istidlal.
Tetapi menolak Istihsan yang dipegang oleh Abu Hanifah dan mashlahah mursalah
yang dipegangi oleh Malik. Diantara kitab Asy Syafi’i yang terpenting yang
sampai kepada kita adalah : Ar Riasalah. Dalam bidang Ushul Fiqh, Al Umm dalam
bidang fiqh, Mukhtaliful Hadits dan Musnad dalam Hadits. [22]
D.
Ahmad bin Muhammad bin Hambali
Mazhab Hambali memiliki nama
lengkap Abu Abdullah Ahmad bin Muhammad bin Hambal, lahir di Marwa, tanggal 20
Robi’ al-Awwal 164 H[23]. Wafat pada tahun 214 Hijriyah.
Beliau seorang imam yang selalu melawat ke
berbagai kota untuk mencari ilmu dan hadis. Dengan usaha yang kenal payah
beliau menghimpun sejumlah 40.000 hadist di dalam kitab musnadnya. Imam Ahmad
terkenal sebagai seorang imam yang menjauhkan diri dari qiyas dan kuat
berpegang pada nash kitab dan hadist. Karenanya sebagian ulama menggolongkan
beliau ke dalam golongan ahli hadist, tidak ke dalam golongan para mujtahid.
Imam Ahmad memiliki daya ingat yang kuat dan
ini adalah kemampuan yang umum terdapat pada ahli-ahli hadist. Beliu juga sabar
dan ulet, memiliki keinginan yang kuat dan teguh dalam pendirian.
Pada mulanya Ibnu Hambal ini berguru kepada
Asy Syafi’i, kemudian barulah beliau membangun mazhab sendiri.[24]
1. Setting sosial budaya
Selama hidupnya, Ahmad Ibn Hambal terkenal wara’, pendiam, suka
berfikir, peka terhadap kondisi sosial, dan suka bertukar pendapat. Beliau
mempunyai pikiran yang cemerlang, wawasan yang luas dan kepribadian yang baik.
Ketika Imam Syafi’i belajar di Baghdad dan menuju Mesir pernah mengatakan
sebagai berikut ‘’ketika saya meninggalkan Baghdad, disana tidak ada orang yang
lebih pandai di bidang fiqih, lebih wara’, lebih zuhud dan lebih alim dari
Ahmad ibn Hambal’’.
Menurut Ishak Ibn Rahawaih, Ahmad adalah Hujjah antara hamba dengan
Allah di muka bumi ini. Ahmad mengalami suatu kehidupan yang disiplin dan
sholeh. Ia sangat mencintai ilmu hadis sehingga rela berkelana dari suatu
negeri ke negeri lain demi ilmu tersebut. Ia adalah pencinta Nabi sejati yang
sepanjang hidupnya mencoba menanamkan semangat dasar ajaran al-Qur’an dan
Sunah.
Sebagian ulama berpendapat bahwa penganut mazhab Hambali tidak banyak
Ahmad terlalu keras ekstrim berpegang pada riwayat. Ahmad bahkan bersikukuh
untuk tidak berfatwa tentang sesuatu yang tidak ada nassnya. Mazhab hambali di
pandang tidak dapat mencukupi kebutuhan
masyarakat yang menghadapi persoalan yang terus berkembang karena terlalu
sempit, tidak leluasa menggunakan qiyas, atau istihsan dan maslahah sebagaimana
pada mazha
2. Setting politik
Mazhab Hambali adalah mazhab yang sekarang berkembang di dunia Islam.
Mula- mula berkembang hanya di Baghdad. Kemudian di abad yang keempat baru
melampaui perbatasan Irak dan diakhiri abad yang keenam berkembang di Mesir.
Dengan usaha Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayim mazhab ini lebih berkembang lagi dan
di abad ke-12 Hijriyah dengan kesungguhan Muhammad ibn Abdil Wahhab mazhab
Hambal menjadi mazhab penduduk Najed, terutama di masa pemerintahan raja Abdil
Aziz as Su’udi. Mazhab hambal sekarng resmi menjadi pemerintahan Saudi Arabia
dan mempunyai pengikut yang tersebar di seluruh jazirah Arab, Palestina, Syria,
dan Irak. [25]
Kebesaran dan masyhuran nama Ibn Hambal dikarenakan perlawanannya
terhadap dogma-dogma agama dan politik yang disebarkan oleh kekhalifahan
Abbasiyah yang menurut Ahmad tidak berdasarkan pada al-Qur’an dan al-Hadist.
Bahkan para pengausa mengeksploitasikan agama sebagai alat untuk mempertahankan
kekuasaan dan hak-hak istimewa mereka dalam perekonomian. Kaum Mu’tazilah
adalah penasehat resmi otokrasi Abbasiyah. Formulasi teologis dari doktrin
penciptaan al-Qu’an secara politis digunakan untuk menekan para tokoh
masyarakat, buruhdan budak yang berada di bawah kekuasaan rezim feodal.
Masyarakat dicekam rasa ketakutan menghadapi pengujian yang bisa mengantarkan
mereka ancaman Mihnah.
Ibn Hambal percaya bahwa melalui al-Qur’an yang memberikan aturan hidup
bagi orang beriman. Sunnah nabi juga mengandung petunjuk-petunjuk etis legal
yang menuntut adanya penyerahan diri secara total terhadap kehendak Allah dalam
rangka memenuhi perintahnya. Ahmad percaya bahwa iman harus diwujudkan dengan
perkataan dan perbuatan. Iman bisa bertambah dan berkurang. Atas dasar inilah
Ibn Hambal menolak dogma religio politik. Dinasti Abbasiyah yang mengklaim
bahwa al-Qur’an adalah diciptakan sehingga tidak dapat menjadi sumber inspirasi
yang abadi bagi kehidupan muslim.
3. Metode keilmuan
Imam Ahmad ibn Hambal adalah anak yang cerdas dan rasa ingin tahunya
besar, sangat bersemangat melanjutkan pelajaran. Dia mulai belajar khasanah
hadis tahun 179 H ketika masih beru berusia 16 tahun. Dikatakan bahwa dirinya
bercita-citaingin menjadi ulama yang besar sehingga dia hafal satu juta hadis.
Oleh karenanya dia mendasarkan pendapat hukumnya atashadis semata, dan menjadi
seorang ulama terkemuka pada masanya dan sampai akhir zaman. [26]
Imam Ahmad tidak suka jika ada yang menulis pendapat dan fatwanya.
Kalaupun ada, paling hanya berupa catatan khusus untuknya yang memuat beberapa
masalah fiqih, dan tidak boleh ditulis hanyalah al-Qur’an dan Sunah agar ia
tetap menjadi refrensi utama masyarakat untuk mempelajari hukum taklif. Salah
seorang muridnya yang bernama Ishaq Al-Kusaj pernah menulis pendapatnya
kemudian menyebarkannya di Khurasah. Imam Ahmad menunjukkan ketidaksukaannya
mengetehui hal tersebut. Oleh karena itu, kalangan yang berjasa menuliskan
mazhab Imam Ahmad adalah murid-muridnya. Merekalah yang mengumpulkan pendapat
da fatwa sang Imam, lalu menyusunnya sesuai dengan urutan bab fiqih.
Adapun orang yang pertama menyebarkan mazhab Imam Ahmad adalah putranya
yang bernama Shalih bin Ahmad bin Hambal (wafat 266 H). [27]
Kitab yang merupakan kitab dasar bagi mazhab Ahmad, ialah musnadnya
yang telah mendapat sambutan yang besar dari seluruh ulama dari segenap mazhab.
Diantara ulama
yang mengembangkan mazhabnya:
1. Al Astram Abu Bakar
Ahmadibn Hani al Khurasan, pengarang As Sunah (wafat 273 H).
2. Ahmad ibn Muhammad ibn
al Hajjaj al Marwawi (wafat 275 H)
3. Ibn Ishaq al Harbi (wafat 285 H)
4. Al Qasim Umar ibn Abi Ali Al Husai al Khiraqi
9wafat 334 H)
5. Abdul Aziz ibn Ja’far (wafat 363 H). [28]
4. Metode istinbat yang
digunakan
Adapun sumber hukum dan metode
istinbath Imam Ahmad ibn Hanbal dalam menetapkan hukum adalah:
1. Nash dari
Al-Qur'an dan Sunnah yang shahih.
2. Fatwa para sahabat
Nabi SAW, apabila tidak
memperoleh nash. Apabila ia tidak mendapatkan suatu nash yang jelas, baik dari
Al-Qur'an maupun dari hadits shahih, maka ia menggunakan fatwa-fatwa dari para
sahabat Nabi yang tidak ada perselisihan di kalangan mereka.
3. Apabila terdapat
perbedaan di antara fatwa para sahabat, maka Imam Ahmad ibn Hanbal memilih
pendapat yang lebih dekat kepada Al-Qur'an dan Sunnah
4. Hadits Mursal atau
Hadits Dha'if , jika
tidak berlawanan dengan suatu astar atau dengan pendapat seseorang sahabat.
5. Qiyas
Apabila Imam
Ahmad ibn Hanbal tidak mendapatkan nash dari hadits mursal dan hadits dha'if,
maka ia menganalogikan / menggunakan qiyas. Qiyas adalah dalil yang digunakan
dalam keadaan dharurat (terpaksa). Mazhab ini juga menerima istihsan, sadd
az-Zari’ah, ’urf, istishab, dan al-maslahah al-mursalah sebagai dalil dalam
menetapkan hukum Islam.[29]
IV.
KESIMPULAN
a. Abu Hanifah Annu’man
Mazhab hanafi adalah mazhab tertua diantara empat mazhab ahlus sunah
wal jama’ah yang populer. Pendirinya bernama Imam Abdul Hanifah An-Nu’man bin
Tsabit bin Zutha At-tamimiy, terkenal dengan Sebutan Imam Ahli Al-Ra’yi ( imam ahli logika ). Seorang non
arab yang dilahirkan di kuffah tahun 80 H pada khalifah Abdul Malik bin Marwan
( dinasti umayyah)
b. Malik bin Anas
Imam malik adalah imam yang kedua dari imam-imam empat serangkai dalam
Islam dari segi umur. Ia di lahirkan tiga belas tahun setelah kelahiran Abu
Hanifah. Imam Malik dilahirkan pada zaman pemerintahan Al-Wahid bin Abdul Malik
Al-Umawi. Imam Malik dilahirkan
disuatu tempat yang dinamakan Zulmarwah di sebelah utara
‘Al-Madinatul-Munawaroh’ kemudian beliau tinggal di ‘Al-akik’ untuk sementara
waktu sebelum akhirnya beliau menetap di Madinah
c. Muhammad Idris
Asy-Syafi’i
Imam Syafi’i adalah seorang keturunan dari Hasyim ibn Abdul Muthalib.
Sehingga masih seketurunan dengan Nabi Muhammad SAW. Nama lengkapnya yaitu Muhammad Ibn Idris Asy-Syafi’i. Beliau
dilahirkan di Ghuzzah, sebuah wilayah di dalam negeri Syiria pada tahun 150 H/
767 M
d. Ahmad bin Muhammad
bin Hambali
Mazhab Hambali memiliki nama lengkap Abu Abdullah Ahmad bin Muhammad
bin Hambal, lahir di Marwa, tanggal 20 Robi’ al-Awwal 164 H . Wafat pada tahun 214 Hijriyah.
Setting politik sosial dan budaya berbeda-beda. Dalil yang utama yang
dijadikan sebagai sumber berijhtihad empat madzhab yaqni, Al-Qur’an, As-Sunnah,
Ijma, dan Qiyas.
V.
PENUTUP.
Demikian makalah ini yang dapat kita sampaikan, semoga apa yang ami
sampaikan bermanfaat bagi kita semua. Kami sadar bahwa makalah ini masih banyak
kekurangan, baik dalam penulisan maupun dalam cara penyampaian. Untuk itu,
mohon kritik dan sarannya untuk memperbaii kekurangan yang ada dalam makalah in
DAFTAR
PUSTAKA
Asy-Syurbasi ahmad. 2008. Sejarah dan
Biografi Empat Mazhab. Jakarta : Amzah.
Hasan Khalil Rasyad. 2009. Tarikh Tasyri’.
Jakarta : Amzah
I Rahman. 2002. Penjelasan Lengkap
Hukum-Hukum Allah (Syariah). Jakarta : Raja Grafindo Persada
Muhammad Hasbi Tengku. 1987. Pengantar
Ilmu Fiqih. Semarang : PT Pustaka Rizqi Putra
Supriadi Dedi. 2013. Ushul Fiqh
perbandingan. Bandung : Pustaka Setia
Wahhab Klalaf Abdul. 2001. Sejarah
Pembentukan & Perkembangan Hukum Islam. Jakarta : Raja Grafindo Persada
http://gudangmakalahku.blogspot.com/2013/04/pemikiran-dan-dasar-dasar-istinbat.html/ diakses pada: 20 Mei 2014
http://id.wikipedia.org/wiki/Mazhab_Syafi'i,
22/05/2014, 04.00 WIB
[1]
Rasyad Hasan Khalil. Tarikh Tasyri’.(Jakarta: Amzah.2009).hlm 99
[2]
Rasyad Hasan Khalil. Tarikh Tasyri’.(Jakarta: Amzah.2009).hlm 173
[3]
Rasyad Hasan Khalil. Tarikh Tasyri’.(Jakarta: Amzah.2009).hlm 176
[4]
Dedi Supriadi. Ushul Fiqh Perbandingan.(Bandung: Pustaka Setia).hlm 50
[5]
Ahmad Asy-Syurbasi, Sejarah dan Biografi Empat Imam Mazhab, (Jakarta: Amzah,
2008), hlm. 71
[6]
Ahmad Asy-Syurbasi, Sejarah dan Biografi Empat Imam Mazhab, (Jakarta: Amzah,
2008), hlm. 72
[7]
Muhammad Sa’id Mursi, Tokoh-tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah, (Kairo:
Mu’assasah Iqro’
[8]
Ahmad Asy-Syurbasi, Sejarah dan Biografi Empat Imam Mazhab, (Jakarta: Amzah,
2008), hlm. 92
[9]
Ahmad Asy-Syurbasi, Sejarah dan Biografi Empat Imam Mazhab, (Jakarta: Amzah,
2008), hlm. 93
[10]
Ahmad Asy-Syurbasi, Sejarah dan Biografi Empat Imam Mazhab, (Jakarta: Amzah,
2008), hlm. 76
[11]
Abdul Wahhab Khalaf, Sejarah
Pembentukan & Perkembangan Hukum Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2001), hlm. 109
[12]
Ahmad Asy-Syurbasi, Sejarah dan
Biografi Empat Imam Mazhab, (Jakarta: Amzah, 2008), hlm. 88
[13]
http://gudangmakalahku.blogspot.com/2013/04/pemikiran-dan-dasar-dasar-istinbat.html/
diakses pada: 06 April 2014
[14]
Tengku Muhammad Hasbi Ash shiddieqy.
Pengantar Ilmu Fiqih. (Semarang: PT Pustaka Rizki Putra. 1987). hlm 126
[15]
A. Rahman I. Doi, Penjelasan Lengkap
Hukum-hukum Allah (Syariah), Jakarta; PT. RajaGrafindo Persada, 2002, hlm. 144
[16]
A. Rahman I. Doi, Penjelasan Lengkap Hukum-hukum Allah (Syariah), Jakarta; PT.
RajaGrafindo Persada, 2002, hlm.143-144
[17]
A. Rahman I. Doi, Penjelasan Lengkap
Hukum-hukum Allah (Syariah), Jakarta; PT. RajaGrafindo Persada, 2002, hlm.143
[18]
A. Rahman I. Doi, Penjelasan Lengkap Hukum-hukum Allah (Syariah), Jakarta; PT.
RajaGrafindo Persada, 2002,hlm. 141
[19]
A. Rahman I. Doi, Penjelasan Lengkap Hukum-hukum Allah (Syariah), Jakarta; PT.
RajaGrafindo Persada, 2002,hlm. 142
[20]
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar
Ilmu Fiqh, Semarang; PT. Pustaka Rizki Putra,1999, hlm. 123
[21] http://id.wikipedia.org/wiki/Mazhab_Syafi'i,
22/05/2014, 04.00 WIB
[22]
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar
Ilmu Fiqh, Semarang; PT. Pustaka Rizki Putra,1999, hlm. 124
[23]
A. Rahman I. Penjelasan Lengkap
Hukum-Hukum Allah (Syariah). (Jakarta:PT Raja Grafindo Persada. 2002).
hlm.145
[24]
Tengku Muhammad Hasbi Ash shiddieqy.
Pengantar Ilmu Fiqih. (Semarang: PT Pustaka Rizki Putra. 1987). hlm 125
[25]
Tengku Muhammad Hasbi Ash shiddieqy. Pengantar Ilmu Fiqih. (Semarang: PT
Pustaka Rizki Putra. 1987). hlm 127
[26]
A. Rahman I. (Syariah Penjelasan Lengkap
Hukum-Hukum Allah). (Jakarta:PT Raja Grafindo Persada. 2002). hlm 146
[27]
Rasyad Hasan Khalil. Tarikh
Tasyri’.(Jakarta: Amzah.2009).hlm 197
[28]
Tengku Muhammad Hasbi Ash shiddieqy.
Pengantar Ilmu Fiqih. (Semarang: PT Pustaka Rizki Putra. 1987). hlm 126-127
[29]
Tengku Muhammad Hasbi Ash shiddieqy.
Pengantar Ilmu Fiqih. (Semarang: PT Pustaka Rizki Putra. 1987). hlm 126
Tidak ada komentar:
Posting Komentar